skip to main |
skip to sidebar
Umpat Yang Di Haruskan
Imam
Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin,
menyatakan bahwa ghibah atau umpatan hanya diperbolehkan untuk tujuan
syara' yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu:
1. Orang
yang teraniaya boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang
menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang
berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 148:
"Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (QS. An-Nisa' : 148).
Ayat ini menjelaskan bahwa
orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang
menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya
kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk
menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim,
dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas
boleh hukumnya.
Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang
yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan
adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat
An-Nisa ayat 149:
"Jika kamu menyatakan kebaikan atau
menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. An-Nisa: 149)
2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.
Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk mencegah
kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak.
Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma'ruf
nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu membahu menegakkan
kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari
hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang
bathil.
3. Istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal.
Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk
meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya
menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak
lebih.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti:
a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau
kelakuannya, menurut ijma' ulama kita boleh bahkan wajib
memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk
memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas
diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi
hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah
Al-Qur'an.
b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang
yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan
dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum, dan
sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini dilakukan
untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita,
bukan untuk menyakiti salah satu pihak.
c. Apabila kita melihat
seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau
ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka
kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru
tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata.
5. Menceritakan
kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid'ah
seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut
pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya.
Ketika menceritakan
keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat
kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.
6. Bila
seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu,
si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di
atas agar orang lain langsung mengerti.
Tetapi jika tujuannya
untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang
lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.
Wallahu a'lam
Rujukan : Fatwa Imam Suyuthi dan Kitab Siyarussalikin
0 ulasan:
Post a Comment